Memasuki usia ke-84 , Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia dihadapkan pada tantangan yang semakin berat, dalam bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, politik dan keagamaan. Perubahan zaman menuntut ormas Islam yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 itu untuk melakukan berbagai pembenahan.
Pada 23 hingga 28 Maret 2010 ini, seluruh kekuatan elite NU tengah berkumpul di Makassar, Sulawesi Selatan dalam forum Muktamar ke-32. Pada hajatan lima tahunan warga Nahdliyyin itu, berbagai masalah yang dihadapi NU akan dibahas dan dirumuskan. Masa depan ormas Islam yang diprakarsai KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul wahab Hasbullah itu akan ditentukan dalam forum ini.
Pengamat NU dari Jepang, Mitsuo Nakamura, mengungkapkan, tantangan terbesar organisasi ormas) Islam terbesar di Indonesia, saat ini, adalah mengatasi masalah kemiskinan. “Masalah utama yang dihadapi mayoritas Muslim di Indonesia adalah kemiskinan, karena itu menjadi tantangan terbesar bagi NU,” ungkap Mitsuo di sela-sela Muktamar ke-32 NU di Makassar.
NU, menurut dia, harus turut membantu pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Sesuai dengan khittah-nya, NU didirikan untuk mengurus yatim piatu dan fakir miskin dan membentuk organisasi yang memajukan pertanian, perdagangan dan industri yang halal menurut hukum Islam. Terlebih, sebagain besar warga NU – dari 45 juta orang – berada di kawasan tertinggal.
Pakar pendidikan Prof Arief Rachman, mengungkapkan, NU harus mampu menanamkan jiwa kewirausahaan atau profesionalisme. ”Ingatkan bahwa kerja itu ibadah. Jadi bekerja bukan sekadar mencari uang. Tetapi, di atas mencari uang, kerja adalah ibadah. Metode seperti apa yang dapat digunakan agar tujuan ini dapat tercapai,” paparnya.
Selain itu, menurut dia, NU harus bisa menjadi kelompok Islam yang menunjukkan disiplin dalam ibadah. Kedisiplinan itu dalam bentuk kebersihan, ketertiban, dan keteraturan. Jangan sampai umat Islam kalah dengan umat agama lainnya dalam hal ini.
Tantangan lainnya, papar Arief, NU harus dapat mengobarkan penelitian ilmiah, sehingga nantinya semua kiprah ormas Islam itui berdasarkan penelitian yang dapat dipercaya. ”Berdasarkan kekuatan ilmiah. Sehingga, NU bisa menjadi pasukan terdepan dalam Iptek,” ungkapnya.
Dirjen Bimas Islam, Prof Nasaruddin Umar, menegaskan, salah satu tantangan NU di masa depan adalah pembentukan generasi baru yang lebih berkualitas guna mengantisipasi perkembangan zaman. Selain itu, papar dia, institusi NU telah banyak yang termakan usia, sehingga diperlukan pembenahan di berbagai bidang, misalnya, pendidikan.
Pihaknya menegaskan, sudah saatnya NU berada di tangan manajemen yang profesional. ”Kita bukan hanya memerlukan leader, tapi juga memerlukan manager. Banyak leader yang baik, tapi kita butuh pemimpin yang mampu sekaligus menjadi manager. Leader-manager harus menyatu dalam sesosok pemimpin. Hal ini juga berlaku bagi badan-badan otonom NU.”
Pengamat sosial yang juga Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Prof Imam Suprayogo, mengungkapkan, di era globalisasi ini, NU menghadapi tuntutan kualitas yang semakin tinggi. Menurut dia, masyarakat yang semakin modern menuntut produk-produk pendidikan yang semakin berkualitas, kompeten dan terukur.
Diakui Imam, dalam bidang sosial, NU dalam perjalanan sejarahnya selalu tampil di depan. ”Persoalan sosial, politik, ekonomi dan lain-lain semakin kompleks dan berkembang semakin cepat. NU tidak boleh hanya berkutat pada peroalan sederhana yang dari tahun ke tahun sudah dibahas. Misal, hanya sibuk ngurus soal hukum rokok dan semacamnya,” tuturnya.
Dalam bidang dakwah, Imam menyarankan agar pendekatan kultural yang dilakukan NU perlu dipertahankan. Kegiatan-kegiatan kultural seperti kegiatan tahlil , diba’, shalawat , khatmul quran , pujian menjelang shalat, riyadhoh , istighotsah , semua itu adalah bentuk dakwah yang luar biasa. Meski begitu, kata dia, NU harus menjamah wilayah dakwah yang luas dan beranekaragam itu. Inilah tantangan ke depan bagi NU.
Sementara itu, peneliti NU, Prof Asep Saeful Muhtadi, menuturkan, proses transformasi sosial kaum Nahdliyin yang terjadi pada sekitar dua dasawarsa terakhir akan menuntut kemampuan para pengelola organisasi untuk sanggup memberikan pelayanan formal, baik dalam persoalan-persoalan agama maupun dalam persoalan sosial politik dan budaya yang semakin kompleks.
”Di tengah percaturan dan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, organisasi massa Islam yang mengantongi jutaan jamaah seperti UN, sulit menghindari munculnya berbagai godaan politik praktis. NU masih akan menjadi pemandangan yang sangat menggiurkan partai-partai politik,” papar guru besar Komunikasi Politik UIN Bandung itu.
Pengamat politik Islam, Fachry Ali, mengungkapkan, NU harus siap menghadapi modernisasi jika muncul otonomi individu. Menurutnya, munculnya otonomi individu dipercepat oleh proses politik. ”Inilah tantangan terbesar. NU harus jauh total dari politik. Begitu terjun ke dunia politik, akan ada kepentingan-kepentingan tertentu yang dapat merusak, akan cenderung melawan siapapun juga,” ujarnya.
Agar tetap menjadi ormas Islam terbesar yang tetap berwibawa, kata dia, NU harus terpisah total dari politik. ”Janganlah memilih pemimpin dari dunia politik. Syuriah bersih dari politik, sehingga respek orang kuat terhadap para pemimpinnya. Pemimpinnya dianggap sebagai begawan. NU memerlukan pemimpin yang tidak tergoda politik,” tutur Fachry menegaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar