AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
-; Sebuah Telaah Ideologi dan Manhaji ;-
A. PENDAHULUAN
Satu islam banyak pemahaman dan pandangan, demikianlah kenyataan sejarah
perjalanan islam yang pada gilirannya perbedaan pemahaman dan pandangan itu
bermuara dan terakumulasi dalam mazhab-mazhab dan sekte-sekte baik menyangkut
masalah Iman, Islam maupun Ihsan yang tercermin ke dalam disiplin Aqidah,
Syariah juga Tasawwuf.
Islam sebagai Syariat Allah yang abadi dimana substansi keagamaannya
terdiri dari tiga hal pokok yang sering dikenal dengan Trilogi Islam yaitu Iman,
Islam, dan Ihsan. Kebenaran (keshahihan) substansi keagamaan ini sebenarnya
bias diukur dengan ukuran baku dari sumbernya, yakni Al Quran dan As-Sunnah.
Manakala nafsu manusia tidak ikut intervensi dalam klaim-klaim kebenaran dengan
menganggap pendapatnya benar sendiri, karena pada hakekatnya kebenaran itu
hanyalah dari Allah bahkan hanyalah Allah sendiri.
Oleh karena itu, perlu memahami konsep pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah
sebagai landasan pikir, pola perilaku, ucap dan sikap sehari-hari dalam hidup
dan kehidupan baik pribadi maupun social.
B. PENGERTIAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Ahlussunnah Wal Jama’ah merupakan rangkaian tiga kata yaitu: (1). Ahlun;
(2). Sunnatun; (3). Jamaa’atun. Adapun pengertian lebih
lanjutnya sebagaimana berikut:
1. Kata “Ahlun” dalam penggunaan sehari-hari
mempunyai persamaan kata (synonym) dengan Shaahibun yang artinya pemilik;
sahabat akrab.
2. Kata “Sunnatun” ditinjau dari penggunaan
istilah dalam islam mencakup:
·
Wahyu Allah yang bukan Al-Quran atau segala yang datang dari Rasulullah selain
Al-Quran.
·
Jika dikaitkan dengan kata “Allah” menjadi Sunnatullah, berarti aturan
Allah terhadap alam raya.
·
Sesuatu yang diperintahkan oleh islam selain yang wajib.
3.
Kata “Jama’ah” yang berlaku organizing kalangan
kaum muslimin dari
zaman ke zaman mencakup
empat hal utama yaitu:
·
Dari sisi pendekatan (manhaji) ialah umat islam yang mengikuti
sunnah Rasulullah dan para sahabatnya.
·
Dari sisi bilangan (jumlah) ialah golongan yang lebih besar dari
ummat islam dengan memegang teguh kelurusan dan kebenaran.
·
Dari sisi keluasan dan kedalaman faham (tsiqqah) ialah kuatnya
hujjah (argumentasi), keimanan dan keagamaan serta kepatuhannya.
·
Dari sisi dasar (asas) ialah mereka yang memegang teguh kepada
kebenaran (ah-haq).
Dari uraian pengertian dan penggunaan sebagaimana tersebut diatas, kiranya
dapat dirumuskan bahwa: Ahlussunnah Wal Jama’ah ialah golongan islam
yang mempertahankan dengan teguh faham aqidah, amalan syariah, dan sikap bathin
(tashawwuf)nya mengikuti sunnah Rasulullah dan mengikuti amalan jama’ah Sahabat
serta amalan Ulama Salafus Shalih.
C. ASAL-USUL PENGGUNAAN ISTILAH ASWAJA
Penggunaan istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah bila ditinjau dari sejarahnya
(dan dari pengertian diatas), menurut sebagian ahli sejarah keislaman seperti
pernyataan Syeikh Muhammad Rasyidyang terungkap dalam Kitab Minhajus
Sunnatin Nabawiyah (Juz 2 : Shohifah 487) sebagai berikut:
وَمَذهَبُ أهْلِ السُّــنُّةِ مَذهَبٌ قـَدِيْمٌ مَعْرُوْفٌ قـَبْلَ أنْ
خـَلـَـقَ اللهُ أبَاحَنِيْفـَة َ وَماَلِكاً وَالشـًّافِعِىّ وَأحْمَدَ فَإ
ِنًّهُ مَـــــــذ ْهَبُ الصَّـحَابَةِ الـَّذِيْنَ تـَلـَقـَّوْنَهُ عَـنْ
نَبـِيِّهـِمْ وَمَنْ خـَالـَفَ ذالِكَ كـَانَ مُبْتـَدِعـًا عِنْدَ أهْلِ
السـُّـنَّةِ وَالجَمـَاعَةِ. (منهاج السنة النبوية)
Artinya: “Dan madzhab ahlussunnah wal jama’ah merupakan madzhab
merupakan madzhab lama yang sudah dikenal sebelum Allah menciptakan Imam Abu
Hanifah, Malik, Asy-Syafii dan Imam Ahmad. Karena sesungguhnya ia merupakan
madzhab sahabat dimana mereka menerima dari nabi mereka, dan barangsiapa
menyalahinya maka mereka merupakan orang yang melakukan bid’ah menurut
Ahlussunnah wal Jama’ah”.
Namun istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini belum begitu masyhur di kalangan
umat islam. Baru kemudian setelah memuncaknya fitnah organizing dunia Islam,
terutama di masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun (198-218 H) bani Abbasiyah
yang menjadi pendukung dan pejuang setia faham Mu’tazilah. Dengan tampilnya dua
Ushuluddin sebagai reaksi terhadap maraknya faham Mu’tazilah atas dukungan
Al-Makmun tersebut. Mereka adalah Abul Hasan Al-Asy’ari Al-Bashry (260-324 H)
dan Abu Mashur Al-Maturidy, wafat organizing Samarkand (333 H).
Kepada kedua beliau inilah kepeloporan golongan Aswaja dinisbatkan yang
kemudian berkembang sebagai madzhab islam yang terbesar dan sangat dominant
organizing dunia islam. Sedangkan madzhab-madzhab lain banyak hilang ditelan
masa selain madzhab Syi’ah yang memang resmi sebagai madzhab di negeri Persia
dan sebagian kecil di Irak, Yordan, Syiria juga di Pakistan.
D. PEMAKAIAN ISTILAH ASWAJA DARI MASA KE MASA
1. Masa Salafus Shaalih (سلف الصالح)
Pada masa Salafus-Shaalih istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah itu digunakan
untuk menyebutkan golongan islam yang mendahulukan petunjuk Al-Qur’an dan
mengikuti Sunnah Rasul (إتباع الرسول)
dari pada petunjuk yang lain, sekaligus memeliharanya dengan cara jama’ah.
2. Masa Khalfus Shaalih (خلف الصالح)
Pada masa Ulama’ Khalaf (ulama islam baru) istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah
digunakan untuk menyebut golongan islam yang selalu memegang teguh As-sunnah
dan bergabung dengan Jama’ah Ulama-Ulama yang berusaha mengikis faham-faham
Bid’ah di bawah sinar para pimpinan tokoh pembaharuan (تجديد) yang berusaha menghidupkan kembali nilai-nilai yang telah
pudar dari amalan-amalan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
E. ASWAJA AN-NAHDLIYAH
ASWAJA mencakup banyak golongan Islam;
yaitu golongan yang mengutamakan dan mendahulukan Sunnah Rasulullah إتباع أعمال الصحابة و أعمال التابعين dari pada pemikiran dan amalan lainnya.
Atau dengan kata lain “Mendahulukan Wahyu daripada Ra’yu”.
Sedangkan Nahdlatul Ulama adalah golongan Islam yang juga mendahahulu kan
wahyu dari pada ra’yu, menempatkan akal fikiran sebagai pembantu dalam memahami
wahyu. Namun sebagai organisasi social keagamaan tentu mempunyai karakteristik
tertentu. Dimana karakteristik itu disebabkan oleh sejarah, lokasi, atat dan
budaya. Sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyah itu secara ringkas dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1.
Substansi Keagamaan
·
Bidang Aqidah didasarkan pada Aqidah Aswaja menurut Al-Asy’ari dan
Al-Maturidy
·
Bidang Syari’ah Amaliyah mengikuti salah satu madzhab empat (Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabalah)
·
Bidang Tashawwuf (spiritual) berpegang teguh dengan garis-garis As-Sunnah
dengan tokoh panutannya Abul Qosim Muhammad Al-Junaid wafat di Baghdad (297 H)
dan Abu Furqah. (disarikan dari pendapat Ibnu Abbas , Said bin Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazaly: 450-505 H/ 1058-1111 M)
2.
Substansi Kemasyarakatan
a. Mabadi’ Khaira Ummah (مبادئ خير الأمـة)
Dalam kiprah kemasyarakatan harus mampu mengembangkan citra diri/ karakter
sebagai berikut:
1). الصدق Berkepribadian Jujur dan Tangguh
2). الأمانة Memegang Penuh Amanah dan Bertanggungjawab
3). العدالة Mempunyai Rasa Keadilan
4). التعاون Berjiwa Tolong Menolong
5). الإستقامة Memiliki Integritas Tinggi
b. Maslahatul Ummah (مصلحة الأمّـة)
Dalam upaya berkhidmah untuk kemaslahatan ummat, bisa mengabdikan diri
sesuai dengan potensi yang dimiliki demi kesejahteraan masyarakat dalam bidang:
1. Ekonomi; yaitu mengembangkan masyarakat
secara terus menerus untuk menuju ke arah peningkatan taraf hidup
masyarakat dengan prinsip ekonomi yang halal serta meningkatkan kemampuan
masyarakat sesuai dengan potensinya.
2. Pendidikan; masyarakat yang maju ditandai
dengan kualitas pendidikannya. Maka peningkatan pendidikan generasi muda baik
melalui jenjang pendidikan formal maupun jenis pendidikan lainnya. Tegasnya
pendidikan yang berorientasi pada output Kecerdasan Perilaku menuju
generasi muda yang mampu Berperilaku Cerdas.
3.
Substansi Kebangsaan
Masyarakat islam di Indonesia adalah bagian yang tidak terpisah dari elemen
bangsa Indonesia. Atas pemahaman dan pengkajian yang mendalam bahkan
comprehensive maka pilihan kenegaraan dan kebangsaan yang diambil adalah “Darus
Salam” (دار السلام) bukan “Darul Islam”
(دار الإسلام), yaitu Negara bermasyarakat islam, bukan
Negara islam. Sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila merupakan bentuk final bagi bangsa Indonesia.
4.
Sikap
Sebagai generasi yang tergabung dalam الجمعية الإجتماعية الدينية dengan tugas dan tanggungjawab di’ayah (da’wah) dalam peranannya dilandasi
dengan sikap:
·
التوسط Moderat; menghindari
sikap ekstrim dan radikal.
·
التسامح Toleran dalam menghadapi perbedaan pendapat/ faham maupun beda agama.
·
التوزن Harmoni; memelihara keseimbangan dalam menghadapi
hidup dan kehidupan baik individu maupun social, lahir maupun batin lebih-lebih
dunia maupun akhirat.
Dalam rangka mempertahankan eksistensinya agar tetap mampu bertahan dan
berkembang seirama dengan perkembangan zaman, maka semboyan yang harus dipegang
adalah:
المُحـَا فـَظـَـة ُ عـَلىَ القـَدِيْمِ الصـَّالِح وَالأخْذ ُ بـِالجَديْدِ
الأصْلاَح
Artinya: Memelihara budaya lama yang masih sesuai (baik), dan
mengambil budaya baru yang lebih sesuai (baik).
F. PENUTUP
ASWAJA dalam kehidupan kekinian hanya mampu dibaca dan didengar oleh
generasi muda. Perang dalih dan argumentasi bahkan pembenaran atas sikap yang
dilakukan oleh generasi muda sering kali menafikan nilai-nilai luhur Aswaja
bahkan islam. Tidak terorganisirnya kaum muslim (ahlussunnah) dengan baik serta
bergesernya gaya hidup sederhana menjadi gaya hidup kapitalis, mengakibatkan
perubahan pola fakir dan perilaku generasi yang sangat pragmatis dan sulit
berkorban.
Apabila substansi keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, sikap serta
semboyan tersebut diatas dapat diwujudkan, maka dengan izin Allah akan terwujud
pula tatanan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur islam. Sehingga generasi
islam benar-benar mampu mendalami pesan Al-Quran dalam surat An-Nahl : 66
sebagai berikut:
وَإنًّ لـَكُمْ فِى الأنْعــَامِ لـَعِـبْرَة ً نُسْقِيْكُمْ مِـمَّا فِى
بُطـُوْنِهِ مِنْ بَيْنِ فـَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنـًا خـَالِصـًا
سَائِغاًللشـَّارِبِيْنَ.
Artinya: “sesungguhnya pada binatang ternak itu terdapat pelajaran
bagimu. Kami memberimu minuman dari pada apa yang terdapat dalam perutnya,
(berupa) susu yang bersih diantara tahi dan darah, yang mudah ditelan dan
menyegarkan bagi orang yang minum.
Maka kebahagiaan dunia akhirat menjadi kenyataan, serta hidup di dunia yang
hanya sekali menjadi hidup yang berarti.
Oleh:
Hadi Prayitno
(Div. Research and Community Development
PW Lakpesdam NU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar