Aswaja adalah aliran keagamaan yang
diikuti oleh mayoritas umat Islam Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Aswaja
NU terkenal dengan nama Aswaja Nahdliyah, yaitu Aswaja yang menjadi keyakinan
dan dasar utama bagi warga NU dalam semua bidang, agama, sosial, pendidikan,
ekonomi, budaya, dan politik. Namun sayang, mayoritas warga NU belum memahami
secara mendalam apa itu Aswaja ?, apa yang membedakan Aswaja dengan aliran lain
?, dalil-dalil yang menjadi dasar amaliyah warga NU seperti tahlilan,
manakiban, yasinan, dan lain-lain ?, Apakah benar amaliyah warga NU termasuk
bid’ah dhalalah (sesat) ? kalau tidak, apakah termasuk kategori sunnah ? Wacana
bid’ah selalu dijadikan senjata untuk menyerang amaliah warga NU secara terus
menerus. Pelurusan wacana sangat penting dan mendesak, supaya warga NU bisa
mengamalkan tradisinya secara nyaman dan tenang.
Selain
itu, tantangan modernisasi dan globalisasi membuat formulasi Aswaja klasik
mengalami kemunduran, karena dirasa kurang mampu menjawab tuntutan dinamika
zaman. Maka, menjadi suatu keniscayaan melakukan penyegaran dan pembaruan
doktrin Aswaja. Salah satunya adalah menjadikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr (metodologi berpikir) dalam membaca
realitas secara dinamis, analitis, produktif, dan solutif. Persoalan muncul
lagi, bagaimana mengaplikasikan Aswaja sebagai manhaj
al-fikr dalam organisasi dan program-programnya. Disinilah
pentingnya membumikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr dalam
organisasi dan program-programnya supaya operasional kuatitatif sehingga bisa
meningkatkan kualitas warga NU secara maksimal.
Latar
Belakang Historis Lahirnya Aswaja
Lahirnya
Aswaja tidak bias dilepaskan dari munculnya pergolakan firqoh-firqoh dalam
Islam wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah
Saw wafat peran sebagai kepala Negara
digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang
disebut khulafaur Rasyidin yakni Abu
Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin
Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsman
bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara
umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya
fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya
fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam,
dari masalah politik sampai pada masalah teologis.
Dalam
sejarah Islam telah tercatat adanya firqah-firqah (faham/golongan) dalam
lingkungan umat Islam, dimana satu dengan lainnya bertentangan faham secara
tajam dan sulit untuk didamaikan. Didalam buku Bugyatul Mustarsyidin karangan Mufti Sheikh
Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, bahwa ada 72 firqah yang
sesat bertumpu pada 7 firqah yaitu :
1. Faham Syi’ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Saidina Ali bin
Abi Thalib. Mereka tidak mengakui Khalifah Rasyidin yang lain seperti Khalifah
Abu Bakar as-Shiddiq, Khalifah Umar Ibnu Khattab dan Khalifah Utsman bin Affan.
Kaum Syi’ah terpecah menjadi 22 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum
Bahaiyah dan Kaum Ahmadiyah Qad-yan.
2. Faham Khawarij, yaitu kaum kaum yang berlebih-lebihan membenci
Saidina Ali bin Abi Thalib, bahkan di antaranya ada yang mengkafirkan Saidina
Ali. Firqah ini berfatwa bahwa orang-orang yang membuat dosa besar menjadi
kafir. Kaum Khawarij terpecah menjadi 20 aliran.
3. Faham Mu’tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat, bahwa manusia membuat pekerjaannya sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat
dengan mata dalam surga, orang yang mengerjakan dosa besar diletakkan di antara
dua tempat, dan mi’raj Nabi Muhammad SAW hanya dengan roh saja, dll. Kaum
Mu’tazilah terpecah menjadi 20 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum
Qadariyah.
4. Faham Murjiah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa membuat maksiat
(kedurhakaan) tidak memberi mudharat jika sudah beriman, sebaliknya membuat
kebaikan dan kebajikan tidak bermanfaat jika kafir. Kaum ini terpecah menjadi 5
aliran.
5. Faham Najariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan manusia
adalah makhluk, yaitu dijadikan Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat
Tuhan tidak ada. Kaum Najariyah terpecah menjadi 3 aliran.
6. Faham Jabariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa manusia “majbur”,
artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini
hanya 1 aliran.
7. Faham Musyabbihah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa ada keserupaan
Tuhan dengan manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik dan turun
tangga dll. Kaum ini hanya 1 aliran saja. Kaum Ibnu Taimiyah termasuk dalam
golongan ini, dan Kaum Wahabi adalah termasuk kaum pelaksana dari faham Ibnu
Taimiyah.
Sebagai
reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang sesat tadi, maka pada akhir abad
ketiga Hijriyah muncullah golongan yang yang bernama Ahlussunnah wal Jama’ah
yang dipelopori oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Sheikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari dan Sheikh Abu Mansur al-Maturidi. Perkataan Ahlussunnah
wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menjadi Ahlussunnah saja atau Sunni saja
dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asy’ariyah, dikaitkan kepada guru
besarnya yang pertama yaitu Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.
Ahlusunnah
wal jama’ah berarti kaum atau golongan yang menganut serta mengamalkan ajaran
Islam yang murni sesuai ajaran Rosulullah SAW dan para sahabatnya. I’tiqad Nabi
dan sahabat-sahabat itu telah terdapat dalam Al-Quran dan dalam Sunnah Rasul
secara terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratur, tetapi kemudian
dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang
besar, yaitu Sheikh Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.
Karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah
dengan kaum Asya’irah. Dalam buku-buku
Ushuluddin biasa dijumpai perkataan Sunni sebagai
kependekan dari Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut-pengikutnya dinamai Sunniyun.
Di dalam buku ‘Ihtihaf Sadatul Muttaqin’
karangan Imam Muhammad bin Muhammad al-Husni Az-Zabidi, yaitu buku Syarah dari
Ihya Ulumuddin disebutkan bahwa apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah,
maka maksudnya adalah orang-orang yang mengikut rumusan (faham) Asy’ari dan
faham Abu Mansur al-Maturidi.
Hubungan
NU & Aswaja
Nahdlatul ‘Ulama didirikan di Surabaya
pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M oleh
para ulama pengasuh pesantren yang didalam komunitas Islam mempunyai kesamaan
wawasan, pandangan, sikap dan tata cara pemahaman, penghayatan dan pengamalan
ajaran Islam Ahlus sunnah wal jama’ah.
Paling
tidak ada tiga faktor yang melatarbelakangi berdirinya Nahdlatul ‘Ulama yaitu
: Pertama, Usaha untuk mempertahankan faham
Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dan rasa cinta tanah air (untuk Persatuan dan
Kesatuan). Kedua, Berkembangnya
Ajaran wahabiyah (haram Ziarah kubur, tidak mengakui waliyullah, haram
Tahlilan, berdoa langsung pada Allah, Haram Dhiba’/Berjanzi, Haram shodaqoh
untuk orang yang telah meninggal, dsb). Ketiga, Berdirinya Komite Hijaz.
Besarnya
pengaruh kyai/ulama melalui lembaga pendidikan pesantren mengakibatkan
Nahdlatul ‘Ulama mudah berkembang dengan pesat, khususnya di daerah basis
pesantren. Sebagai Jam’iyyah Diniyah yang
bermotif keagamaan dan berlandaskan keagamaan, segala sikap, perilaku, dan
karakteristik perjuangan Nahdlatul ‘Ulama selalu disesuaikan dan diukur dengan
norma dan ajaran agama Islam Ahlus sunnah wal jama’ah,
serta bercita-cita keagamaan yakni Izzul Islam Wal Muslimin atau
dengan kata lain tercapainya Sa’adatud darainbagi
umat dan warganya.
Sejak
awal Nahdlatul ‘Ulama menegaskan bahwa ia merupakan penganut Ahlusunnah wal Jama’ah, sebuah paham keagamaan yang
bersumber pada Al Qur’an, As sunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas. Secara
harfiah Ahlusunnah wal Jama’ah berarti penganut sunnah
Nabi Muhammad saw dan jama’ah (para sahabat) atau segolongan pengikut sunnah
Rasulullah saw yang didalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di garis
yang dipraktekkan oleh jama’ah (para sahabat). Menurut NU, faham Ahlusunnah wal
Jama’ah tidak dapat dipisahkan dari haluan bermadzhab, sebagaimana ditegaskan
dalam Naskah Khittah NU pada butir 3 sebagai berikut :
1. a. Nahdlatul
‘Ulama mendasarkan faham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al Qur’an,
As-Sunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas.
2. Dalam memahami, menafsirkan Islam dari
sumber ajarannya, Nahdlatul ‘Ulama mengikuti faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan
menggunakan jalan pendekatan al-Madzhab, yaitu: Pertama, dalam bidang aqidah, Nahdlatul ‘Ulama mengikuti
faham Ahlusunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan
Imam Abu Mansur Al Maturidi. Kedua, dalam
bidang hukum Islam (fiqih), Nahdlatul ‘Ulama mengikuti jalan pendekatan (al
Madzhab) salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an Nu’man, Imam Malik bin
Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Ketiga, dalam bidang tasawuf mengikuti antara
lain Imam Al Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali, serta imam-imam yang lain.
Aswaja
sebagai Mazhab
Aswaja, selama ini sering dipandang
hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini
menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya,
secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan
keabsahannya.
Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai
mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja.
Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang
pernah dikarang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya
ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin
Aswaja.
Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy’ari
menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran
aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama
Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh,
mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam
al-Ghazali atau Al-Junaidi.
Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak,
Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal
Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini
membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits
(meski dho’if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai
Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail.
Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat
qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.
Itu hanya salah sat di antara sekian
pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan
(stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas
teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi
hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan
metodologi baru dalam memahami agama.
Reformulasi
Aswaja Sebagai Manhajul Fikr dan Manhajul Amaly;
KH.
Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah Waljamaah
adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua
aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga
keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan
secara proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan sebuah manhaj al-fikr (pendekatan berpikir
tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi
tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi
situasi politik ketika itu. Namun harus diakui bahwa kelahiran Ahlussunnah
Waljamaah sebagai manhaj al-fikr tidak terlepas
dari pengaruh tuntutan realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang
melingkupinya.
Dalam
merespon berbagai persoalan baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan
maupun kemasyarakatan, Nahdlatul ‘Ulama memiliki manhaj Ahlusunnah wal Jama’ah yang dijadikan
sebagai landasan berpikir Nahdlatul ‘Ulama (Fikrah Nahdliyah). Adapun
ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah antara lain :
1. Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul ‘Ulama
senantiasa bersikap tawazun (seimbang)
dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan.
2. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul ‘Ulama dapat
hidup berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun aqidah,
cara piker, dan budayanya berbeda.
3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya
Nahdlatul ‘Ulama selalu mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al ishlah ila ma huwa al ashlah).
4. Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul ‘Ulama
senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
5. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul ‘Ulama
senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul
‘Ulama.
Konsep Fikrah Nahdliyah itulah yang menyebabkan
Nahdlatul ‘Ulama nampak sebagai organisasi social keagamaan yang sangat moderat,
toleran, dinamis, progressif dan modern. Secara konseptual sebenarnya pola
pikir Nahdlatul ‘Ulama tidak tradisionalis, ortodok, ataupun
konservativ, hal ini bisa kita lihat pada perkembangan intelektual
di lingkungan Nahdlatul ‘Ulama khususnya kaum muda Nahdlatul ‘Ulama yang
menunjukkan kecenderungan radikal dalam berpikir dan moderat dalam bertindak sebagaimana laporan
penelitian Mitsuo Nakamura saat mengikuti Muktamar Nahdlatul ‘Ulama Ke-26 di
Semarang (1979), demikian pula Martin Van Bruinessen (1994).
Nahdlatul
‘Ulama berpendirian bahwa faham Ahlusunnah wal Jama’ah harus diterapkan dalam
tata kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian sikap yang bertumpu pada
karakter Ahlusunnah wal Jama’ah (Manhajul Amaly).
Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam
menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai landasan Nahdlatul
‘Ulama dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu Khaira Ummat yakni sebuah gerakan untuk
mengembangkan identitas dan karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan
pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara
lain :
1. 1. At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya
menempatkan diri antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk
mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara
berlebihan.
1. 2. Al I’tidal
I’tidal berarti tegak lurus, tidak
condong ke kanan dan tidak condong ke kiri. I’tidal juga berarti berlaku adil,
tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus dibela.
1. 3. At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada
pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai sikap pendirian dan
kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia
berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan,
kemasyarakatan, dan kebudayaan.
1. 4. At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak
berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain.
1. 5. Amar
Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru
dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun
ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan,
merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan
kemanusiaan.
Berbeda
dengan konsep aswaja sebagai manhaj al-fikr, yang
belakangan dikembangkan juga sebagai manhaj al-amal (pendekatan melakukan kegiatan), aswaja diposisikan sebagai metode berpikir dan
bertinadak yang berarti menjadi alat (tools) untuk
mencari, menemukan, dan menyelesaikan berbagai permasalahan sosial.
Sebagai alat, maka sikap pro aktif untuk mencari penyelesaian menjadi
lebih bersemangat guna melahirkan pikiran-pikiran yang
kreatif dan orisinil. Dalam hal ini pendapat para ulama terdahulu
tetap ditempatkan dalam kerangka lintas-komparatif, namun
tidak sampai harus menjadi belenggu pemikiran yang dapat mematikan atau
membatasi kreativitas
Perubahan
kultur dan pola pikir ini juga dapat dilihat dalam prosedur perumusan hukum dan
ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah dalam tradisi jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama yang
menggunakan pola Maudhu’iyah (tematik) atau
terapan (Qonuniyah) yang berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empiric
dan Waqi’iyah (kasuistik) dengan pendekatan tathbiq al-syari’ah dan metode takhayyur (eklektif).
Nilai-nilai
ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa
dan ruang. Disamping itu NU menjadi sentral gerakan dalam menjaga stabilitas
sosial keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Menurut
Badrun (2000), terdapat lima ciri yang perlu diperhatikan dalam
memosisikan aswaja sebagai manhaj al-fikratau manhaj al-amal :
(1) Selalu mengupayakan
untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari
konteksnya yang baru;
(2)
Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauly) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajy);
(3)
Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’);
(4) Fiqih dihadirkan sebagai
etika sosial, bukan sebagai hukum positif;
(5) Melakukan pemahaman
metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah sosial dan
budaya.
Dalam
upaya “Revitalisasi NU untuk masyarakat dan bangsa yang damai dan
berkeadilan bagi semua”, perlu upaya dan strategi yang
terencana dan dapat diaplikasikan secara efektif di semua tingkatan dengan
tujuan dapat tercipta sebuah organisasi dan infra struktur NU yang kuat dan
mandiri. Upaya-upaya yang dilakukan meliputi:
(1) Perspektif umat,
melakukan pemberdayaan warga nahdliyyin dan kelompok masyarakat terpinggirkan
melalui advokasi kebijakan publik pada level lokal, dan melakukan aksi-aksi
praktis pendampingan kelompok-kelompok warga pada tingkat local dan akar
rumput;
(2) Perspektif finansial,
melakukan revitalisasi Badan atau unit-unit usaha warga atau organisasi NU,
membangun kemitraan dengan berbagai pihak, pemerintah, swasta dengan menerapkan
manajemen keuangan yang professional, transparan dan akuntabel;
(3) Perspektif
organisasi, mengupayakan terciptanya tata laksana organisasi yang modern,
rasional, dan terpercaya dengan berbdasis teknologi informasi dimana mekanisme,
pembinaan dan penguatan berjalan efektif dengan orientasi yang jelas pada
kepentingan warga;
(4) Perspektif sumber Daya
Manusia; mengupayakan terciptanya jaringan SDM multi disiplin dan talenta yang
berkualitas, kompeten, jujur, peduli dan konsisten dengan semangat pengorbanan
dan kesetiakawanan yang tinggi bagi tercapainya tujuan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar