Mengenang sosok Gus Dur tidak sekadar menanamkannya dalam ingatan. Lebih dari itu, mengenangnya adalah sekaligus laku ziarah intelektual, yakni ikhtiar melacak dan menggali pemikiran sang guru bangsa yang acapkali mengejutkan, kontroversial, sekaligus membeber sejuta inspirasi.
Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis merupakan salah satu bentuk peziarahan intelektual terhadap pemikiran politik Gus Dur. Bangunan pemikiran politik agamawan-negarawan besar itu dibongkar secara kritis. Kajiannya didasarkan atas tulisan-tulisan Gus Dur yang berupa artikel-artikel di media massa maupun buku yang pernah ditulis Gus Dur.
Sebagai telaah kritis, buku ini memiliki nuansa berbeda ketimbang buku-buku lain yang ditulis sebagai dedikasi atau penghormatan kepada Gus Dur yang lebih mengedepankan asumsi-asumsi impresif belaka. Metode Critical Discourse Analysis (CDA) ala Van Dijk diperkerjakan meliputi tiga tahap kerja (mikro, mezzo, dan makro) untuk memetakan metamorfosis atau perkembangan evolutif pemikiran Gus Dur berdasarkan kurun waktu dan konstelasi politik yang terus berubah.
Gus Dur adalah living text (teks hidup) yang pemikirannya memiliki landasan epistemologi kuat. Karenanya telaah atas tulisan-tulisan Gus Dur tidak lepas dari medan teks atau kebahasaan. Merujuk Harold Lasswell dan Abraham Kaplon (1950), bahasa bukan sekadar peristiwa linguistik, tetapi menyimpan artefak pergumulan interest dan politik, maka teks (bahasa) yang diproduksi oleh Gus Dur sangat mungkin memuat, sekaligus menyembunyikan, pergumulan politik dan kekuasaan, baik pada level individu maupun struktur berbangsa-bernegara.
Hibridasi Intelektual
Peta pemikiran politik Gus Dur bisa dilacak melalui pemikiran KH Hasyim Asy’ari (kakeknya yang sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama), sampai KH Wahid Hasyim (ayahnya yang juga agamawan-negarawan). Robert E Lane (1969) menyatakan, konstruksi hubungan ayah dan anak telah menjadi bagian dari proses dari kesadaran politik dari ayah terhadap anak. Karenanya, secara antropologis pemikiran-Gus Dur berangkat dari sang ayah dan kakeknya. Tradisi intelektual di dalam keluarga memiliki pengaruh psikologis yang cukup besar dalam diri Gus Dur. Hibridasi kesadaran politik itu berabstraksi dalam diri Gus Dur, selanjutnya berhadap-hadapan dengan realitas kebangsaan yang berbeda. Posisi Gus Dur sebagai “pewaris NU” sangat berpengaruh bagi mobilisasi wacana politiknya serta penjaringan konstituen dari gerakan politik yang dibangunnya (hlm 108).
Munawar Ahmad, penulis buku ini, mengemukakan bahwa ketiga sosok satu garis keturunan tapi berbeda generasi itu dipandang sebagai ulama “liberal”. Identifikasi terminologi “liberal” ini didasarkan pandangan Charles Kurzman yang menunjuk pada prototipe pola pikir yang mengedepankan rasionalitas ketimbang tekstualitas (hlm 59) itu tentu kurang selaras dengan realitas yang ada. Faktanya, Gus Dur maupun kedua pendahulunya tersebut, lebih mencerminkan sebagai intelektual moderat. Mereka menempatkan teks (wahyu), tradisi (turats), dan akal (ra’yu) secara proporsional. Teks dan konteks didialogkan dengan harmonis tanpa berupaya mencederai satu sama lainnya.
Konstruksi Ijtihad
Perlu dipahami, pemikiran politik Gus Dur memiliki perbedaan mendasar dengan pemikiran keagamaannya. Seperti dikemukakan Berki (1992), pemikiran keagamaan terfokus pada proses interpretasi simbol-simbol keagamaan atau ajaran agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan pemikiran politik merupakan pemikiran keagamaan tingkat lanjut yang dikorelasikan dengan political event. Ajaran-ajaran agama menjadi landasan virtue atau moral excellence (kesalihan atau keunggulan moral) dalam pemikiran politik yang berbasis pada nilai-nilai agama.
Konstruksi pemikiran politik Gus Dur merupakan hasil dialog dengan pelbagai situasi dan persoalan yang terjadi di masyarakat. Sehingga pemikiran politik Gus Dur berfungsi sebagai (1) masukan dalam pengambilan keputusan, (2) tawaran perspektif dalam mencermati suatu persoalan, dan (3) eksplorasi atas suatu persoalan untuk menemukan alternatif solusi terbaik (hlm 145).
Pemikiran politik Gus Dur berpengaruh besar terhadap siatuasi politik, kultur dan keagamaan di Indonesia. Di wilayah politik, pemikirannya tidak henti mengondisikan iklim demokrasi yang dinamis. Di wilayah kultur dan keagamaan, pandangan-pandangan politiknya mampu mengatasi pelbagai problem SARA dan menciptakan semangat pluralisme masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar