Sejarah kemerdekaan nasional Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) merupakan sebuah rangkaian perjalanan panjang yang dipenuhi
dengan aksi jihad para syuhada. Umat Islam sudah eksis membangun
peradaban jauh sebelum para penjajah datang ke tanah air. Salah satu
fragmen penting dari rangkaian perjalanan panjang tersebut adalah Resolusi
Jihad KH. Hasyim Asy’ari.
Meskipun buku sejarah nasional Indonesia tidak
mencantumkan catatan penting mengenai resolusi jihad sebagai konteks
peperangan, namun arti pentingnya akhirnya ditandai secara nasional yang
senantiasa identik dengan Hari Pahlawan 10 November. Pertempuran dahsyat itu
diinspirasi dan digerakkan oleh Resolusi Jihad KH. Hasyim Asyari.
Menurut catatan Direktur Museum NU Achmad Muhibbin
Zuhri (2012), terdapat dua naskah Resolusi Jihad. Pertama, naskah
“Resolusi Djihad fi Sabilillah, salinannya dikoleksi oleh Museum NU. Naskah
tersebut berisi pandangan-pandangan dan pertimbangan yang berkembang pada rapat
besar wakil-wakil daerah (konsul 2: Jawa-Madura) pada tanggal 21-22 Oktober
1945. Kedua, naskah “Resoloesi Moe’tamar Nahdlatoel Oelama’
ke-XVI” di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946.
Ada
tiga poin penting dalam kedua naskah Resolusi Jihad itu. Pertama, Hukum membela
negara dan melawan penjajah adalah fardlu ‘ain bagi
setiap mukallaf yang berada dalam radius masafat
al-safar ; Kedua, perang melawan penjajah adalah jihad fi
sabilillah, dan oleh karena itu umat Islam yang mati dalam peperangan
itu adalah syahid, dan ; ketiga, mereka yang
mengkhianati perjuangan umat Islam dengan memecah-belah persatuan dan menjadi
kaki tangan penjajah, wajib hukumnya dibunuh.
Perlu diketahui, bahwa sebelum Resolusi Jihad ini
keluar, “fatwa jihad” yang dikeluarkan sebelumnya oleh Hadratus Syaikh Hasyim
Asy’ari. Fatwa dimaksud disampaikan pada pertemuan terbatas para ulama di
Pesantren Tebuireng pada tanggal 14 September 1945. Poin-poin dari fatwa ini
sama dengan poin-poin dalam Resolusi Jihad.
Fatwa jihad yang kemudian dirumuskan secara tertulis
dalam Resolusi Jihad tersebut keluar diawali dengan kegalauan Presiden Soekarno
demi menghadapi kedatangan enam ribu tentara Inggris di bawah komando Brigadir
Jenderal Mallaby, Panglima Brigade ke-49 (India) yang akan segera tiba di
Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dan bahkan penjajah Belanda dengan tentara
NICA-nya (Netherlands Indies Civil Administration) yang sudah terusir
pun ikut membonceng tentara Sekutu tersebut. Kedatangan pasukan Sekutu dan
Belanda tersebut hendak merongrong kemerdekaan NKRI.
Soekarno
sadar, bahwa umat Islam yang menjadi mayoritas dalam tubuh NKRI merupakan
kekuatan yang tidak bisa diremehkan, terlebih lagi KH. Hasyim Asy’ari merupakan
figur yang sangat disegani oleh para kyai dan santri se-Jawa dan Madura. Beliau
juga menjadi komandan spiritual laskar Hizbullah
yang dikomandani oleh para kyai dan beranggotakan para santri.
Puluhan ribu kyai dan santri segera menyambut seruan
Resolusi Jihad dari KH. Hasyim Asy’ari. Mereka adalah para kiai dan santrinya
dari seantero Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pertempuran 10
November 1945 merupakan momen kekalahan yang tidak pernah diduga sebelumnya
oleh pasukan Sekutu. Pasalnya, pengalaman tempur mereka di Perang Dunia II yang
dahsyat dirasa sudah lebih dari cukup untuk bisa memenangkan pertempuran 10
November 1945.
Pertempuran besar tak terhindarkan antara pasukan
Sekutu dan laskar NKRI yang terdiri dari kyai dan santri. Panglima AFNEI Letjen
Philip Sir Christison mengirim pasukan Divisi ke-5 dibawah Komando Mayor
Jenderal E.C Mansergh, jenderal yang terkenal karena kemenangannya dalam Perang
Dunia II di Afrika saat melawan Jenderal Rommel.
Mansergh membawa 15 ribu tentara, dibantu enam ribu
personel brigade 45 The Fighting Cock dengan persenjataan
serba canggih, termasuk menggunakan tank Sherman, 25 ponders, 37 howitser,
kapal Perang HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, dan 12 kapal terbang
jenis Mosquito. Namun mereka berhasil didesak oleh laskar kyai dan santri.
Pasukan Sekutu terdesak, dan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di tangan
laskar santri.
Keluarnya Resolusi Jihad tidak terlepas dari pandangan
KH. Hasyim Asy’ari mengenai Islam dan kenegaraan. Beliau mengikuti pandangan
yang berkembang dalam pemikiran politik Ahlussunnah wal jama’ah,
yakni pendapat Syekh Nawawi al-Bantani, yang menyatakan bahwa Dar
al-Islam yang telah dikuasai oleh non-Muslim tetap dipandang
sebagai Dar al-Islam apabila umat Islam masih tetap bermukim
di dalamnya. Dan pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU memang pernah
menyatakan bahwa Indonesia adalah Dar al-Islam, meskipun saat itu
di bawah pemerintah Hindia Belanda.
Artinya, Dar al-Islam yang kemudian
dikuasai oleh non-Muslim tidak berubah status menjadi Dar al-Harb apabila
orang Islam yang menetap di dalamnya tidak dihalangi untuk melaksanakan syariat
agamanya. Akan tetapi, jika penguasa non-Muslim tersebut menghalangi umat Islam
untuk melaksanakan ajaran agamanya, maka statusnya berubah menjadi Dar
al-Harb.
Dengan begini, maka dalam pandangan KH. Hasyim
Asy’ari, mempertahankan eksistensi NKRI dari segala hal yang mengancamnya wajib
dilakukan oleh umat Islam, bukan semata-mata atas nama nasionalisme, namun
untuk keberlangsungan kehidupan umat Islam yang berdiam di negara tersebut. Hal
ini ditegaskan dalam pidatonya yang disampaikan pada Muktamar NU ke-XVI di
Purwekorto 26-29 Maret 1946. KH. Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa
tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam
negeri-negeri jajahan. Dengan kata lain, syariat Islam tidak akan bisa
dilaksanakan di negeri yang terjajah.
Zuhri (2012) menjelaskan, dalam pandangan NU, sejak
proklamasi kemerdekaan, Pemerintah RI adalah pemerintah yang sah sesuai hukum
Islam, dan oleh karenanya, tidak diragukan lagi bahwa negeri Indonesia adalah
negeri Islam. Oleh karena itu, usaha kaum penjajah untuk merampas
kemerdekaan itu adalah usaha yang harus dilawan atas nama jihad fi
sabilillah. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar