Istilah ini mungkin saja dipergunakan untuk
membedakannya dengan berbagai ormas Islam lain yang kerap menggunakan istilah
berbahasa Arab, "milad", sekaligus juga tidak ingin ikut-ikutan
menggunakan istilah HUT yang terkesan formal karena biasa dipergunakan oleh
pemerintah.
NU menjadi ormas Islam terbesar paling unik
dan memiliki akar sejarah dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Keunikan
organisasi ini terletak pada jumlah anggotanya yang banyak, mengakar, bahkan
mungkin saja lebih banyak dibandingkan klaim mereka sendiri soal jumlah para
pengikutnya.
Istilah "kebangkitan ulama" yang
melekat dalam NU, menunjukkan bahwa ormas ini didirikan atas kesepakatan para
ulama mempertahankan dan menghidupkan setiap tradisi intelektual yang
dibawanya.
Di tengah gempuran gerakan reformis yang
melanda dunia Islam di abad 19, akibat pengaruh pemikiran Jamaludin al-Afghani
dan Muhammad Abduh yang meluas hingga ke Indonesia, maka keberadaan para ulama
yang secara de facto mapan
dan memiliki ikatan-ikatan kultural secara kuat dengan masyarakatnya, tampak
mulai terancam.
Gerakan reformis Islam mulai mempertanyakan
legitimasi para ulama dan mereka menilai para ulama bukanlah satu-satunya
pemegang paling sah atas penafsiran ortodoksi Islam. Reaksi atas maraknya
gerakan reformis adalah alasan paling kuat kenapa pada akhirnya pada 1926 NU
lahir.
Kelahiran NU jelas memiliki akar politik,
karena disamping terlibat langsung dalam proses-proses kemerdekaan, para
pendirinya merupakan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang aktif dalam
struktur-struktur pemerintahan, sebelum dan sesudah kemerdekaan
Indonesia.
Salah satu pendirinya, KH Hasyim Asy'ari
pernah diangkat menjadi kepala jawatan agama (Shumubu) oleh pemerintahan
Jepang. Putranya KH Wahid Hasyim adalah salah satu perumus Piagam Jakarta dan
menjadi menteri agama pertama di era Presiden Soekarno. Keterlibatan NU dalam
struktur kekuasaan politik seolah sulit jika hanya menyebut NU sebatas ormas,
terlebih sejak 1952 NU berubah secara resmi menjadi partai politik.
Sangat wajar, jika dibelakang hari---bahkan
hingga saat ini---jabatan kementrian agama selalu "harus" NU karena
penempatan orang-orang NU didalamnya jelas memiliki akar kesejarahan yang
sangat kuat.
Tidak hanya kementrian agama, IAIN atau kampus
negeri berbasiskan Islam juga pertama kali diinisiasi oleh salah satu menteri
agama asal NU, Saifudin Zuhri sejak 1960-an.
Warna "tradisionalis" di kampus
IAIN---kini UIN---juga tampak mencolok melihat dari berbagai sosok rektor yang
memimpinnya. Terpilihnya Amany Burhanudin Lubis sebagai satu-satunya rektor
perempuan pertama dalam sejarah UIN juga tak bisa dilepaskan dengan latar
kulturalnya yang memang NU.
Sulit untuk tidak dikatakan bahwa sejauh ini
keberadaan kementrian agama telah menjadi benteng NU, sehingga NU secara
langsung memiliki akses yang cukup luas terhadap berbagai fasilitas apapun
untuk dibagikan di kalangan anggotanya.
Hal inilah yang kemudian mendorong salah satu
pengamat NU, Martin Van Brinessen menyebut NU lebih berorientasi
patronage---melalui berbagai penguasaannya dalam struktur politik---menjalin
ikatan-ikatan kultural yang kuat dengan sesama anggota dan para
aktivisnya.
Patronage lebih banyak mengenyampingkan soal
gagasan maupun program yang cukup rumit, sehingga wajar jika kemudian banyak
orang-orang yang bukan asli nahdliyyin dengan
cepat berpenetrasi melalui jaringan-jaringan NU secara kultural-politik.
Sejarah panjang NU sebagai ormas Islam dan
organisasi politik memang menunjukkan realitas pasang-surut. Mungkin
satu-satunya ormas Islam dengan corak politik yang paling khas dan konsisten
sejauh ini yang saya lihat hanya NU.
Ciri akomodasionis yang dilekatkan pada NU
terhadap kekuasaan memang sulit dihilangkan, sekalipun NU pernah menunjukkan
kritiknya yang keras kepada penguasa, namun itu masih dalam batas-batas yang
masih wajar.
Sekalipun rezim Orde Baru memberlakukan siasat
depolitisasi dan "deparpolisasi" yang mewajibkan seluruh ormas Islam
bernaung dalam satu parpol dan seluruh ormas dan parpol diwajibkan menerima
Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam keorganisasiannya, NU tampak menerima
dan hampir tak ada gejolak yang timbul secara berarti.
NU seolah ingin mengaskan kembali sebagai
organisasi yang merujuk pada eksistensi sejarah awalnya yang setia kepada
negara Indonesia. Maka, NU merupakan satu-satunya organisasi yang secara formal
menerima Pancasila bahkan tanpa perlu mempertanyakan kembali kesesuainnya
dengan garis-garis perjuangannya.
Konsekuensi penerimaan NU atas asas tunggal,
bukan tanpa kritik, tetapi jelas menuai masalah baik secara eksternal maupun
internal. Tetapi, penegasan NU atas penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya
asas, disamping asas Islam, juga memperteguh dirinya untuk setia kepada
negara tanpa harus mengorbankan satu incipun komitmen mereka terhadap
perjuangan Islam.
NU memang telah membuat rumusan tersendiri
soal ini dan memungkinkan organisasi ini pada akhirnya senantiasa akomodatif
terhadap kekuasaan politik.
Memang, dalam
kenyataannya belakangan, NU kerap kali dituduh sebagai ormas yang kerap kali memanfaatkan
kekuasaan, bahkan tampak mencolok dalam hal pembelaannya. Patronage politik NU
tampak kuat menjadi alasan paling utama kenapa NU gigih dalam dukungannya
terhadap pemerintah, termasuk dalam bentuknya saat ini.
Sekalipun mungkin tampak riak-riak beberapa
aktivis dan pengikut NU yang cenderung kritis, namun hampir tak mengubah
sedikitpun komitmen NU terhadap pembelaannya kepada negara. Jargon-jargon
seperti nasionalisme, NKRI, Pancasila seolah diksi paling lantang yang
disuarakan mayoritas aktivis NU, sekalipun kadang mendapatkan perlawanan dari
berbagai aktivis Muslim lainnya.
Kerumitan dalam tubuh organisasi NU yang tidak
memungkinkan berjalan layaknya organisasi modern pada umumnya, membuatnya
justru lebih kuat berakar secara kultural. Itulah kenapa NU tak selalu identik
dengan mereka yang mengikuti perkumpulan massa dengan bendera bola dunia dan
bintang sembilan terkibar, atau simbol yang khas seperti sarungan atau
pecian.
Mereka yang tak mempersoalkan tradisi-tradisi
masyarakat, seperti selametan, kendurenan, sukuran, tahlilan, yasinan, atau
yang lainnya juga secara tidak langsung mengakui bahwa kultur NU lebih ditaati
mungkin dibanding ajaran syariatnya itu sendiri.
Hal inilah kemudian yang banyak
dipertentangkan kelompok Islam lainnya yang mengangap para pengikut tradisi ini
dengan menyepelekan urusan syariat yang ketat sebagai ahlu bid'ah menurut pandangan mereka
sendiri.
Sulit rasanya memotret diri NU secara utuh,
karena sesungguhnya organisasi ini jelas memiliki banyak sudut pandang yang
beragam, tetapi disatukan secara kultural.
Sekalipun NU tetap tak mungkin dilepaskan dari
sejarah politik dengan akarnya yang menghunjam kuat, rasa-rasanya terlampau
sulit juga mencabut akar tradisi yang begitu hidup dan berkelindan secara
kultural dimana sekalipun mereka tak terafiliasi secara formal dengan NU, namun
kedekatannya secara kultur jelas akan melawan ketika ada pihak-pihak yang
mengancam realitas kekulturannya. Selamat Harlah NU ke-93, semoga NU tetap
konsisten menjaga kultur keislamannya dan keindonesiannya!
(Syahirul Alim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar