LAMAN

BERITA UTAMA

Jumat, 01 Februari 2019

Pengertian Siapa dan Apa Itu Ahlussunnah Wal jama’ah



Muktamar Internasional Ulama Islam di Chechnya pada 25 Agustus 2016 lalu seakan memberikan pencerahan baru bagi ummat Islam. Betapa tidak, di tempat ini para publik figur ulama kaliber dunia berkumpul dan menekankan kembali definisi Ahlussunnah WalJamaah / Aswaja yang belakangan dirancukan oleh sempalan-sempalan sesat dalam Islam.Muktamar yang difasilitasi presiden Ramzan Akhmadovich Kadyrov itu dihadiri Grand Syekh Al-Azhar Ahmad Muhammad at-Thaib, Habib Umar bin Hafiz, Habib Ali al-Jufri, para mufti dan lebih dari 200 ulama dari semua dunia. Para alim ulama yang muktabar itu dengan mantap menandaskan bahwa pengertian Ahlussunnah wal jema’ah ialah kaum muslimin yang dalam tauhid berpegang pada ajaran akidah Imam Abu Hasan Ali al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Muhammad al-Maturidiy al-Hanafi.


Ciri-ciri golongan ahlussunnah wal jemaah       

Dalam problem Fiqih, mereka ikut mazhab Imam HanafiImam MalikiImam Syafii dan Imam Hambali. Di samping itu, mereka ikut jalan Tasawuf murni sesuai manhaj Imam Juneid dan para ulama yang meniti jalannya. Manhaj Ahlussunnah Wal jema’ah ialah ajaran Islam yang paling akurat, detail dan komprehensif. Manhaj ini menaruh perhatian besar dalam memilih referensi-referensi ilmiah dan metodologi pendidikan dalam memahami syariat Islam yang diwariskan Baginda Nabi SAW.Sejauh sejarah, para ulama Ahlussunnah Wal jema’ah selalu mengamati bermacam pemikiran yang melenceng dan Mengawasi konsep bermacam kubu. Lantas mereka menimbang seluruh itu dengan parameter ilmu dan memberikan kritik mereka secara ilmiah.

Siapa sejatinya Ahlussunnah wal jema’ah itu? Apakah Wahabi/Salafi Ahlussunnah Wal jema’ah

Dengan garis-garis haluan Ahlussunnah Wal jema’ah yang disepakati berbarengan, maka secara legal Muktamar ulama di Chechnya mengucilkan kubu Wahabi yang berpaham Khawarij dari Ahlussunnah Wal jema’ah.Dikucilkannya Wahabi dari Ahlussunnah Wal jema’ah ini lebih dikarenakan lantaran mereka memegang akidah yang menyalahi rumusan Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi. Padahal rumusan aqidah ke-2 imam ini Adalah ajaran yang disepakati kebanyakan ulama dari masa ke masa.
Dalam sebuah syairnya, Imam Abdullah bin Alwi al Haddad berkata, “Jadikanlah Asy’ariyah selaku i’tiqadmu, sesungguhnya i’tiqad itu suci dari penyimpangan dan kekufuran.” Pada suatu hari Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad pernah ditanya, “Apakah mazhab Asy’ari ialah satu-satunya mazhab yang benar ?” Beliau menjawab,“Tidak, tetapi seluruh yang ada dalam mazhab Asy’ari ialah haq, sedangkan dalam mazhab -mazhab selain itu ada yang haq dan ada pula yang batil.”
Oleh karena itu, dalam kitab Risalatul Muawanah beliau mecatat, “Bahwa kebenaran ada berbarengan kubu yang diberi nama Asy’ariyah, yaitu mereka yang dinisbahkan untuk Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari. Beliau sudah menyusun secara sistematis kaidah-kaidah soal akidah ahlul haq serta menulis dalil dalilnya, yaitu aqidah seperti yang sudah disepakati oleh para sahabat dan tabiin serta akidah ahlul haq di tiap-tiap tempat dan zaman. Juga akidah sebagian besar ahli Tasawuf seperti diungkapkan oleh Abu al Qasim al-Qusyairi pada awal risalah yang disusunnya. Itulah pula akidah kami serta sekelompok kami dari kalangan ahlul bait yang dikenal selaku Husainiyyin (yaitu anak cucu Husain bin Ali, cucu Nabi Saw) atau yang juga dikenal dengan sebutan Alawiyyin.

Aliran Wahabi dan Aqidah Ahlussunnah Wal jema’ah
Ada beberapa contoh penyimpangan yang menyebabkan Wahabi dikucilkan dari Ahlussunnah Wal jema’ah. Penyimpangan fatal kubu ialah menyerupakan Allah SWT makhluk yang diistilahkan dengan Faham sesat mereka ini terkristal pada tafsir mereka mereka kepada firman Allah berbunyi :
“(yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy. (QS Thaha : 5)”
Mereka menafsirkan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy atau singgasana. Dengan penafsiran ini mereka meyakini bahwa Allah SWT Ada di suatu tempat (singgasana) sehingga menyerupakan Allah SWT dengan makhluk.
Keyakinan semacam ini tentu batil sebab menabrak rambu-rambu akidah yang ditetapkan para ulama salaf. Bagian rambu akidah itu ialah larangan menyerupakan Allah SWT dengan makhluk.
“Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya.” (QS As Syuro: 11).
Firman pada surat Thaha ayat 5 itu sama sekali tidak boleh ditafsirkan bawa Allah SWT duduk (jalasa) atau bersemayam atau Ada di atas ‘Arsy. meskipun kubu Wahabi beralasan bahwa duduk Allah SWT bukan seperti duduk kita atau bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita, argumentasi ini tetap tidak dapat diterima sebab duduk dan bersemayam termasuk sifat spesial benda.
Ini seperti yang dikatakan oleh al-Hafizh al-BaihaqiImam Taqiyyuddin as-Subuki dan al-Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya.
Dalam Bahasa Arab, kata istawa punya 15 makna. Sebab itu kata istawa wajib ditafsirkan dengan makna yang patut bagi Allah SWT dan seirama dengan ayat-ayat Muhkamat. menurut hal ini tidak boleh menerjemahkan kata istawa ke dalam Bahasa Indonesia atau bahasa lainnya sebab tidak ada sinonim yang mewakili 15 makna itu. Yang dibolehkan ialah menerjemahkan maknanya, dan makna istawa dalam ayat tersebut ialah qahara (menundukkan atau menguasai).
Imam Ali binAbi Thalib pernah berkata, “Sesungguhnya Allah SWT menciptakan Arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya.” Oleh karenanya, ayat tersebut (surat Thaha: 5) cuma boleh ditafsirkan dengan makna qahara (menundukkan dan menguasai) sehingga bermakna bahwa Allah SWT menguasai ‘Arsy seperti Dia menguasai seluruh makhluk-Nya. Sungguh ialah suatu kekeliruan yang parah bila meyakini bahwa Allah SWT bersemayam di,singgasana di atas langit.
Al-Imam ath-Thahawi berkata : “Barangsiapa mensifati Allah dengan bagian sifat manusia, maka ia sudah kafir”. Sifat-sifat manusia beberapa sekali. Sifat yang paling nyata ialah baru, yaitu ada sesudah sebelumnya tidak ada. Di antara sifat manusia ialah mati, berubah, berpindah dari 1 kondisi ke kondisi yang lain, bergerak, diam, infi’al (merespon penstiwa dengan kegembiraan atau kesedihan atau semacamnya yang tampak dalam raut muka dan gerakan member tubuh), turun dari atas ke bawah, naik dari bawah ke atas, berpindah, mempunyai kelir, bentuk, panjang, pendek, bertempat pada suatu arah dan tempat, memerlukan, memperoleh pengetahuan yang baru, terkena lupa, bodoh, duduk, bersemayam, Ada di atas sesuatu dengan jarak, berjarak, menempel, berpisah dan lain lain.
Al-Imam Ahmad ar-Rifa’i (W 578 H) dalam al-Burhan al-Mu-ayyad berkata:”Hindarkanlah akidah engkau sekalian dari berpegang untuk dhahir ayat Al-Quran dan hadits yang mutasyabihat, karena hal sedemikian Adalah bagian pangkal kekufuran.
Yang beliau maksudkan, orang yang mengambil makna dhahir sebagian ayat Al-Quran dan hadits Nabi lalu membikin perkiraan bahwa Allah SWT ialah benda yang bersemayam di atas ‘arsy, atau bahwa Allah Ada di arah bumi, atau bahwa Allah mempunyai member badan, bergerak dan yang semacamnya, maka orang tadi sudah kafir. Imam ar-Rifa’I ialah seorang ulama besar yang hidup pada abad keenam Hijriyyah.
Beliau ialah seorang ahli Hadits, ahli Tafsir, pengikut al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam rumusan akidah dan pengikut mazhab Syafii dalam Fiqih. Beliau ialah orang paling mulia dan paling alim di masanya. Beliau amat Menegaskan tanzih (mensucikan Allah SWT dari menyerupai makhluk). Di antara perkataan beliau dalam problem tanzih ialah perkataan yang beliau sebutkan dalam kitab al-Burhan al-Muayyad.

Pembagian Tauhid Wahabi
Penyimpangan kubu Wahabi yang lain ialah membagi tauhid jadi 3 bagian:
1.      Tauhid Uluhiyyah
2.      Tauhid Rububiyyah
3.      Tauhid Al-Asma Wa ash-Shifat.
Pembagian tauhid seperti ini sama sekali tidak berdasar, baik dari Al-Quran, Hadits, atau dari seorang ulama salaf mana pun. Sungguh mengherankan, mereka mengklaim muncul untuk memberangus bid’ah, tetapi sejatinya mereka sendiri mempelopori bid’ah yang sesat.
Betapa tidak? Baginda Nabi Saw sendiri bersabda,“Saya disuruh untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan (Ilah) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya ialah utusan Allah. Kalau mereka lakukan itu maka terpelihara dariku darah-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali sebab hak.” (HR alBukhari).
Dalam hadits ini Baginda Rasulullah tidak membagi tauhid jadi 3 bagian. Beliau menekankan bahwa dengan mengucapkan “La Ilaha Illallah” dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad ialah utusan Allah, maka seseorang sudah masuk Islam. Beliau tidak menjelaskan bahwa seseorang wajib mengucapkan “La Rabba Illallah” sesudah melafalkan “La Ilaha Illallah”.
Hadits ini Adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat, termasuk di antaranya ialah sepuluh sahabat yang sudah memperoleh berita gembira masuk surga. Imam al-Bukhari juga meriwayatkan hadits ini di dalam kitab Shahih-nya.
Target Pembagian Tauhid Wahabi

Target Wahabi membagi tauhid jadi 3 bagian ialah untuk mengkafirkan orang-orang Islam yang melaksanakan Tawassul (Baca: Arti Tawasul) dengan Nabi uhammad SAW, para wali dan orang orang saleh. Mereka mengakui bahwa orang yang melaksanakan tawassul artinya tdak mentauhidkan Allah SWT dari segi tauhid Uluhiyyah.
Seperti ini pula tatkala mereka membagi tauhid untuk tauhid al-Asma Wa ash Shifat. Target mereka tidak lain hanyalah untuk mengkafirkan orang-orang yang melaksanakan takwil kepada ayat-ayat Mutasyabihat. Mereka sa ngat kaku dan keras dalam memega ng teguh makna dhahir dari teks teks Mutasyabihat. Mereka menjelaskan, “al-Mu’aw-wil Mu’ath-thil,” yang artinya bahwa orang yang melaksanakan takwil ialah sama saja dengan mengingkari sifat-sifat Allah.
Dikucilkannya Wahabi dari golongan Ahlussunnah Wal jema’ah ialah sebab ulah mereka yang semaunya sendiri dalam menafsirkan teks-teks Al-Quran dan Hadits. Mereka ogah ikut tafsir yang dikemukakan jumhur ulama sehingga mereka terperosok ke dalam jurang tasybih dan tajsim. Tasybih ialah menyerupakan Allah SWT dengan makhluk, sementara Tajsim ialah menganggap Allah SWT mempunyai fisik atau jasmani.
Sesungguhnya 2 keyakinan semacam ini mendekatkan mereka untuk kekufuran.Semestinya mereka tidak Penting kebakaran jenggot lantaran wajib dikucilkan dari golongan Ahlussunnah Wal jema’ah. Mereka cuma Penting introspeksi diri dan mengakui kekhilafan mereka yang menyalahi pendapat-pendapat kebanyakan ulama.
Mereka akan diakui selaku Ahlussunnah Wal jema’ah apabila bersedia menerima intisari tauhid yang diajarkan Imam Abul Hasan Ali al-Asy’a ri dan Imam Abu Mansur Muhammad al-Maturidiy dan mau meninggalkan faham tasybih dan tajsim mereka. Bila mereka mau melaksanakan ini, insya Allah Ahlussunnah Wal jema’ah akan menerima mereka dengan tangan terbuka.
Sumber : CN.153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts